Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) membantah mempersulit penempatanratusanpekerja migran Indonesia(PMI)asalNusa Tenggara Barat (NTB)ke Malaysia. Bantahan ini disampaikan Kepala BP2MI Benny Rhamdani pada konferensi pers Kamis (2/6/2022) di kantor BP2MI, Jakarta, setelah pihaknya memperoleh informasi gagal berangkatnya 125 calon PMI asal NTB tujuan Malaysia pada Selasa (31/5/2022). Alhasil, ratusan PMI tersebut berbondong bondong mendatangi kantor BP2MI Mataram meminta kejelasan lantaran gagal berangkat kerja ke Malaysia.
Benny menduga ada permainan visa terkait penempatan PMI ke Malaysia yang dilakukan oleh oknum KBRI Malaysia dan di internal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Pasalnya pihaknya memperoleh informasiCPMI yang akan diberangkatkan ke Malaysia untuk bekerja di perusahaan Sime Darby Malaysia dengancharter flight, tidak memenuhi syarat yang ditetapkan peraturan perundang undangan. “Ternyata yang dikeluarkan pihak kedubes Malaysia itu bukan visa kerja, tapi visa rujukan. Jadi orang orang yang akan diberangkatkan kemarin itu dikasih visa rujukan oleh kedubes yang nanti visa kerjanya akan dikeluarkan di Malaysia,” kata Benny.
Kronologis kasus ini bermula saat Kepala UPT BP2MI Provinsi NTB menerima informasi dari Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono bahwa terdapat CPMI yang akan diberangkatkan ke Malaysia untuk bekerja di perusahaan Sime Darby Malaysia dengancharter flightpada Jumat (27/5/2022). Benny mengatakan, Kepala UPT BP2MI NTB telah menyatakan bahwa apabilaOrientasi Pra Pemberangkatan (OPP) ingin dilaksanakan pada hari Senin (30/5/2022), maka perusahaan penempatan PMI (P3MI) yang memproses dokumen CPMI tersebut dapat mengajukan permohonan OPP sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun, hingga pada saat Atnaker menghubungi Kepala UPT BP2MI NTB pada Sabtu (28/5/2022), P3MI belum mengajukan dokumen CPMI dan permohonan OPP.
Sesuai dengan UU No. 18 tahun 2017, pada pasal 13 butir f disebutkan bahwa setiap Pekerja Migran Indonesia yang bekerja di Luar Negeri harus memiliki visa kerja. Benny mengatakan UPT BP2MI NTB tidak dapat melakukan OPP dikarenakan Visa yang digunakan tidak sesuai dengan Pasal 13 butir f, UU 18 tahun 2017. “Dalam pandangan BP2MI tentu ini bertentangan dengan undang undang negara kita, sehingga bagaimana di satu sisi kita tagas kepada negara lain, meminta orang yang bekerja menggunakan visa kerja, tapi untuk negara tertentu kita toleran dengan memperbolehkan visa rujukan,” kata Benny.
Benny mengatakan pihaknya juga mengkonfirmasi kasus yang menimpa CPMI NTB ini kepada Kemnaker lewat staf khususnya dan mendapat 2 surat balasan dari Kemnaker dalam jangka waktu berbeda. Surat tersebut ditandatangani Direktur Bina Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Rendra Setiawan. Surat tersebut secara garis besar menyatakan bahwa CPMI NTB yang sudah memiliki visa rujukan tersebut dan syarat syarat perjanjian Indonesia – Malaysia diperbolehkan untuk berangkat ke Malaysia.
“Jadi dasar hukum yang digunakan Kemnaker tidak menggunakan undang undang 18 (seperti di surat pertama) tapi memakai MoU Indonesia – Malaysia (disurat kedua). Ini jadi perdebatan, apakah MoU bisa mengalahkan undang undang,” kata Benny. Dari kasus ini, pihaknya setuju untuk mengeluarkan OPP, akan tetapi Benny menegaskan jika terjadi sesuatu di kemudian hari, pihaknya akan mengembalikan tanggung jawab kepada Kemenaker. “Jadi cara kami adalah cara kepatuhan terhadap undang undang,” kata Benny.
“Pandangan kami tetap, sebenarnya para PMI tersebut tidak bisa berangkat, karena visa yang digunakan adalah visa rujukan bukan visa kerja,” ujarnya.